Jumat, 25 Juni 2021

Di-tampol, saat Berkunjung Ke SMAN 5 Malang! (Part-2)

Secara tidak sadar meletakkan pemahaman terhadap ajaran agama, dalam posisi (yang mungkin) lebih rendah dibandingkan dengan pemahaman terhadap teori kekinian, disinilah titik yang menggelincirkan..

Hai semua, gimana kabarnya?
Hari ini saya mau ngelanjutin cerita dari postingan bagian pertama, agar bisa diambil hikmahnya (well, at least for me). Sayang rasanya kalau ada hal menarik yang terlewat begitu saja bukan?

        Perkataan Bapak yang berperawakan gahar itu masih terngiang-ngiang, tidak begitu mudah lepas dari ingatan. Kok bisa? Padahal ketemu juga baru kali itu aja. Durasinya juga tak lama. Ah, ini mungkin jawaban dari pertanyaan yang seringkali terlintas dalam kepala. Betapa baiknya Allah SWT, memberikan solusi gratis gini kepada hamba-Nya. Sambil nyetir, sambil mikir.. bismillah..

        Ada kebiasaan yang gak bisa lepas, udah nempel bertahun-tahun dalam diri.. kadang bisa bikin ngakak sendiri.. kebiasaan itu adalah berdiskusi dengan pikiran sendiri ketika berkendara, mendebat, memberikan anti-thesis terhadap setiap thesa yang diajukan, serta memunculkan alternatif pikiran. Selalu ada "what if?" dan itu seru.

        Misalnya, kalau ada sepasang remaja beda gender lagi berboncengan mesra, (kalo generasi milenial bilangnya "nyabuk") kebayang ga sih scene-nya? Pas lagi berkendara rada kencengan nih, tetiba didepan ada motor yang selauw gitu.. motornya kadang minggir, kadang rada ke tengah. Lah, saya yang kebetulan ada dibelakang mereka, suka "gatel" aja lihatnya. Nope, bukan... bukan karena iri melihat pasangan yang berasyikmasyuk diatas motor.., tapi karena mau mendahului jadi ragu. Kesenggol atau ketabrak juga ga asik, urusan jadi panjang. Nah, buat mengalihkan rasa "gatel" yang sekian detik itu seringkali saya merasa ter-challenge buat sok-sokan jadi detektif, menebak apakah mereka pasutri atau bukan dengan melihat gesture-nya. Eh, ini seru lho, dan bikin nagih gitu. Tidak melatih kita untuk julid, tapi lebih kearah mengasah keterampilan berpikir kritis.

        Kala itu, saya tidak berjumpa dengan pasangan muda-mudi yang sedang nyabuk, syukur alhamdulillah sih. Cuma rasanya yaa... ga pengen aja melewatkan kesempatan untuk julid mengolah ATP didalam sel-sel otak menjadi letupan kecil sinyal elektrik dan kimiawi. Hahahaha. Suddenly, lagi enak-enak nyengir sendiri, mata ini ga sengaja bertumbukan dengan sebuah papan penunjuk jalan berwarna hijau terang, bertuliskan "JALAN ALTERNATIF". Bisa ditebak selanjutnya, mulai deh otak ini ngadi-ngadi.. mikir.. kenapa ya kok ada istilah jalan alternatif? seperti apa bentuknya? bisa ga dikaitkan dengan fenomena yang saya alami tadi di SMA 5 Malang?

        Okay, langsung kita mulai yaa ngadi-ngadinya. Kata alternatif, berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya adalah, "pilihan diantara dua atau beberapa kemungkinan". Saya merasa ga ada ambiguitas dalam KBBI. Simple and Clear. Sementara itu, kata jalan memiliki 14 arti, saya pilih dua definisi yang menurut saya relevan dengan konteks bahasan kita, artinya "tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan dan sebagainya)" & "perlintasan (dari suatu tempat ke tempat lain)". Jadi, hemat saya jalan alternatif bisa dimaknai sebagai beberapa kemungkinan pilihan untuk melangsungkan perlintasan dari suatu tempat ke tempat lain.

        Dari suatu tempat, ke tempat lain... kenapa kalimat tersebut membuat saya ingat tentang makna kehidupan yaa...? Dimulai dari proses kelahiran di dunia, dan diakhiri dengan masuk ke liang lahat. Ya, mirip banget sama kehidupan. Saat masih bayi, kita diberikan kesempatan minum ASI (Air Susu Ibu). Untuk bayi yang alergi sama ASI, alternatifnya minum susu formula. Rada gede dikit, kalau balita mulai ingin sekolah biasanya masuk ke PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), tapi ada juga yang merasa ga terlalu pengen sekolah. Begitupun juga saat TK (Taman Kanak-kanak), beberapa teman saya ada yang langsung masuk SD (Sekolah Dasar) tanpa melalui masa-masa indah TK. Beranjak ke SD, SMP (Sekolah Menengah Pertama), dan SMA (Sekolah Menengah Atas) atau SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), mulai semakin terasa kita dituntut untuk lebih bertanggungjawab atas pilihan yang kita buat.

        Beranjak ke jenjang perkuliahan, kita semakin terfokus pada pilihan karir yang kita harapkan. Saat melamar pekerjaan, kita mencari jenis yang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas diri. Syukur alhamdulillah jika Allah SWT mengabulkan hajat dan keinginan kita, sesuai dengan yang kita idamkan. Jika ternyata masih belum beruntung, kita masih memiliki pilihan lain untuk berwirausaha, dan justru bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Kemudian, pada fase hidup selanjutnya.. (maksud saya menikah ya.. bukan alam barzakh) saat memilih calon pendamping hidup, kita juga tidak ingin sembarangan kan? Tidaklah bisa kita berbohong pada diri sendiri, bahwa tebersit rasa ingin menjalani kehidupan dengan sosok yang terbaik, based on our version. Terus didepan si calon, pengen banget bisa ngomong, "Bismillah, aku maunya kamu.. nikah sama aku aja yuk, aku orangnya insyaAllah baik dunia akhirat, baiknya sampai ke tulang.. To the Bone, kayak lagu. Ntar barengan kita isi kehidupan dengan ibadah, siang-malam". Brrrrrr..... merinding dooong hamba... 😖Well, anyway... sadarkah kita jika sampai titik ini ternyata sudah dihadapkan dengan ratusan -atau bahkan mungkin lebih- pilihan hidup? Kemudian kita membuat keputusan penting dari berbagai alternatif yang ada, dan itu membentuk pribadi yang kita kenal sekarang, betul begitu Saudaraku?

Ilustrasi jalan tempat nenek dan si anak kecil menyeberang (Sumber: Google Maps).


        Enak-enaknya ngelamun mikir nih, tiba-tiba sekitar 25 meter dari hadapan saya ada seorang nenek dan anak kecil (kemungkinan cucu Beliau) yang melambaikan tangan, menandakan minta izin didahulukan untuk menyeberang jalan. Kaget, serta-merta saya kurangi laju kendaraan, memberikan mereka kesempatan. Lamunan saya buyar, tapi masih menyisakan senyum kecil di sudut bibir. Saya perhatikan, si anak kecil dengan telaten menggandeng lengan kiri neneknya, sama sekali tidak terlihat terburu-buru.. dia menyesuaikan kecepatan jalannya agar tidak "menyeret" sang nenek. Amboi... kejadian tersebut membuat saya memuji asma Allah SWT, indah nian akhlak anak kecil barusan. Setelah mereka sampai pada sisi seberang jalan, saya menginjak pedal gas secara perlahan.. sambil ngelanjut overthinking.

        Kita kembali ke pembahasan jalan alternatif, gapapa kan alur mikirnya loncat-loncat gini? Semoga kalian nyaman yaa bacanya. 😄 Seumur-umur, kalau sedang jalan (literally jalan atau bawa kendaraan bermotor), saya lebih suka lewat jalan utama dibandingkan dengan jalan alternatif. Alasannya, karena jalan utama biasanya berukuran lebih besar, aspalnya mulus meski hitam, bisa jalan rada ngebut, dan jarang macet. Jarang, bukan berarti tidak pernah ya... Nah, kalau macet gimana dong? Terpaksa saya memilih jalan alternatif yang biasanya jalannya lebih sempit, rute yang ditempuh lebih jauh, seringkali berlubang atau aspalnya lebih kasar, dan terkadang ditutup oleh warga lokal karena ada hajatan. Buat saya, jalan alternatif itu second choice saat jalan utama mengalami kemacetan. Hal yang kemudian membuat saya berpikir mendalam adalah.. apakah selama hidup ini, ketika kehidupan membawa saya kepada banyak pilihan, saya lebih mengutamakan segudang ilmu dan teori kekinian, serta memperlakukannya ibarat "jalan utama"? Lantas, bagaimana positioning dasar-dasar ajaran berkehidupan yang ada dalam ilmu agama, dalam kehidupan saya?

        Becermin dari kehidupan saya pribadi, ternyata ada banyak momen.. (bahkan mungkin terlalu banyak), ketika saya terlalu mengandalkan teori dan ilmu kekinian sebagai dasar utama pengambilan keputusan. Apakah sikap saya salah? Tentu tidak, tidak sepenuhnya. Kesalahan yang dikemudian hari saya sadari setelah melalui fase panjang kontemplasi adalah.., secara tidak sadar meletakkan pemahaman terhadap ajaran agama, dalam posisi (yang mungkin) lebih rendah dibandingkan dengan pemahaman terhadap teori kekinian, disinilah titik yang menggelincirkan. Okay kita coba masuk lebih dalam ya.. 

        Jika hidup adalah perjalanan dan banyak sekali cabang dan persimpangan yang kita temui dalam menempuh prosesnya, maka kita perlu menghadirkan pikiran sadar.. sadar untuk mampu mengidentifikasi manakah jalan alternatif, dan manakah jalan utama. Jika kita sudah bersaksi bahwa Islam adalah jalan hidup (The Way of Life), maka pada praktiknya.. apakah tepat kita memperlakukan ajaran agama Islam sebagai second choice, alternatif pilihan kedua yang secara hirarki lebih rendah dibanding ilmu & teori kekinian? 

        Ingat nggak, kalau kita ternyata udah sering banget menyampaikan kalimat ikrar.. bahwa sholat, ibadah, qurban, hidup, dan mati kita.. semuanya hanya untuk Allah SWT semata, Tuhan penguasa alam semesta raya (Al-An`am : 162). Seandainya kita ngerasa iman kita rada-rada goyah, bukannya Allah SWT juga dengan lembutnya sudah memberikan kita pengingat.. bahwa selama kita masih berpegangteguh dalam ajaran Islam, maka kita sesungguhnya berada di jalan yang lurus, still- keep on the track (Az-Zukhruf : 43). Kalau masih muncul aja tuh keraguan dalam hati, gimana dong? Coba simak awal surat Al-Baqarah, tegas disampaikan bahwa Al-Qur`an itu tidak ada keraguan didalamnya.. isinya adalah petunjuk bagi yang bertakwa. Sampai disini, saya merasa tidak selayaknya menempatkan ilmu-ilmu yang ada dalam ajaran Islam dalam pilihan kedua. Sikap yang kemudian saya pilih, maka saya akan menganggap Islam ibarat pohon.. bagian akarnya adalah rukun iman & rukun Islam,  batang pokoknya adalah ilmu-ilmu dalam ajaran agama Islam, bagian dahannya adalah ilmu & teori kekinian, serta daun-bunga-buah adalah bentuk kontribusi muslim bagi dunia. Membiarkan dahan terpisah dari batang pokok bisa mengakibatkan kematian.. tidak hanya pada dahan, tapi juga daun, bunga, dan buah. 

        Nggak terasa sudah dekat tujuan, dari jauh terlihat pepohonan rimbun yang ada di halaman depan rumah. Saya menyunggingkan senyum, sambil menikmati kerandoman yang baru saja selesai saya alami. Sebelum memarkirkan kendaraan, saya coba me-review ulang apa yang saya dapatkan disepanjang perjalanan menuju rumah. Berikut ini ringkasannya: 1) harus secara sadar bisa memutuskan serta bertanggungjawab terhadap pilihan hidup, 2) selalu merujuk kepada ajaran agama Islam saat mengambil keputusan, 3) tidak menempatkan ajaran Islam dalam posisi yang lebih rendah dibanding dengan ilmu & teori kekinian, 4) terus semangat mencari ilmu dari para ulama` dan habaib yang lurus, 5) melatih diri agar memiliki akhlak terpuji. Alhamdulillah.. 

        Turun dari kendaraan, langsung ke kamar mandi. Bersih diri sekaligus ganti baju, sebagai bentuk tindakan preventif terhadap paparan virus Covid-19. Gapapa ribet, yang penting sehat. Kali ini saya cukupkan sampai disini dulu yaa.. next time kita lanjutkan lagi ceritanya. 

Malang, 2 Juni 2021
Akhirnya saya sampai di rumah.. Langit masih mendung.. Rintik gerimis mulai turun..


Jumat, 04 Juni 2021

Di-tampol, saat Berkunjung Ke SMAN 5 Malang! (Part 1)

Kamu masih perlu belajar lagi rupanya, kalau kamu tidak bisa menghargai dirimu sendiri.. kenapa saya harus menghargaimu?

     
Tampak depan SMAN 5 Malang (sumber: http://sekolah.data.kemdikbud.go.id/)

        Siang itu saya punya janji dengan seorang teman, ingin belajar tentang seluk-beluk vermes. Pukul 12.35 WIB, sampai di SMAN 5 Malang. Masuk melalui gerbang depan, langkah saya dihentikan oleh lambaian tangan security sekolah. Saya sampaikan kepada Beliau, bahwa saya punya janji dengan Pak W. Miora, motor mio merah kesayangan, saya parkirkan di sebelah barat pos keamanan. Tidak lama berselang, muncul sosok tambun dan berkulit gelap, sebut saja Pak W. Pak W lantas mengajak saya memasuki gedung sekolah.

Pohon Tabebuia chrysotricha yang sedang berbunga
(sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Handroanthus_chrysotrichus)

        Sedikit gambaran tentang SMAN 5 Malang yaa, sekolah ini nuansanya hijau, banyak taman dan tanaman. Bagian luar sekolah dikelilingi oleh pohon Tabebuia chrysotricha, dikenal juga sebagai pohon terompet emas. Jika tiba masa berbunga, hampir seluruh bagian pohon akan dihiasi oleh warna kuning. Bagian dalamnya, ada lapangan basket untuk menyalurkan bakat dan penat. Hahaha. Kebetulan saya tidak berkesempatan untuk tour, jadi hanya sekelumit saja bagian sekolah yang bisa saya ceritakan. Kita berdua, Pak W dan saya, kemudian duduk didepan ruang guru. Semilir angin dan suara gemericik air terjun buatan yang muasalnya dari kolam ikan, menemani obrolan kami.

        Pak W, saat itu mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Sembari duduk bersandar, kaki kanannya ditumpangkan pada kaki kiri (lungguh jegang bhs. Jawa red.) dia membenahi lekukan pada celananya, agar duduknya makin nyaman.

"Kamu mau tahu apa, Bro..?", Pak W membuka perbincangan.
"Saya ingin belajar dari njenengan, Pak. Saya udah kepo-kepo kemarin, cari tahu gambaran besarnya. Tapi, saya ingin belajar hal teknisnya dari njenengan".

        Hampir 4 tahun kita berteman, Pak W paham benar, diksi-artikulasi-intonasi yang saya sampaikan menyiratkan keseriusan. Kurang lebih 40 menit kami berbincang asyik, salah seorang rekan kerja Pak W mendekati kami. Lelaki yang berjalan ke arah kami berusia diatas 55 tahun, rambut tipis jarang ada, sorot mata masih menyala. Kumis cukup lebat, coklat-hitam-putih warnanya. Postur tubuh, gempal. Tangan seperti umbi singkong mukibat, besar dan berurat. "Sebentar.., orang ini.. iya, orang ini cukup `berbahaya`!", first-impression yang absurd. Noted. Si Bapak mengantongi kedua tangan kedalam saku celana.

"Walah... ngobrolin apa ini?, hati-hati kalau kumpul sama Pak W, bisa ketularan Pak W nanti!", Beliau sambil menudingkan jemarinya kearah Pak W. Terlihat serius memang, tapi saya tahu Beliau hanya bermaksud melontarkan candaan saja.
"Ah... saya kan rakyat biasa memang, Pak.. Beda dengan njenengan yang secara kasta berada di langit", Pak W menimpali dengan candaan pula, tapi dari gesture-nya saya tahu kalau dia sedang tak nyaman.

Merasa iba dengan Pak W, saya bermaksud ikut berempati dengan mengatakan, "Sama kok Pak W, saya juga rakyat jelata... yang nggak mampu dan ga punya apa-apa". Menariknya, ada nuansa yang berubah seketika. Mimik wajah si Bapak mendadak menjadi keras, intonasinya lebih tinggi, entah berapa oktaf.

"Wah, nggak boleh gitu, Mas! Kamu masih perlu belajar lagi rupanya, kalau kamu tidak bisa menghargai dirimu sendiri.. kenapa saya harus menghargaimu?... Padahal, satu-satunya yang diharapkan paling bisa memberikan penghargaan dan penghormatan kepada diri pribadi, ya diri sendiri".
        
        Ucapan dari Bapak itu, menancap dalam hati saya. Benar adanya, jika penghormatan terhadap diri ini rasanya jauh berkurang.. (self-respect, self-esteem, self-confidence, sejenis dan serumpun dengan istilah itu). Mungkin saja hal tersebut tercermin keluar, sehingga tampak dan bisa dilihat oleh mereka yang memang peka.... dan mau memahami.

        Ucapan dari Bapak -belakangan saya mengetahui namanya Beliau-, memang nampol banget. Pedas, panas, tapi justru itu yang membuat saya respect ke Beliau. Ucapannya disampaikan saat momennya tepat, dan apa yang Beliau sampaikan sangat terukur. Ucapan bisa jadi senjata yang mematikan, atau sebaliknya.. mantra yang membangkitkan. Sepanjang perjalanan menuju rumah menjadi momen yang pas untuk muhasabah.

Lanjutan ceritanya akan saya sampaikan pekan depan yaa..
InsyaAllah, jika Allah SWT mengizinkan, akan saya sampaikan poin yang memiliki korelasi erat dengan tuntunan yang telah Allah SWT berikan.
Malang, 2 Juni 2021
Langit saat itu kelabu, sementara rintik hujan enggan turun... terpantau masih malu-malu..

PERUBAHAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP (Bagian 1) ---MATERI KELAS X SEMESTER GENAP--- KURIKULUM MERDEKA

 ----  KEGIATAN AWAL PEMBELAJARAN  ---- 📌  Note  : Pernahkah kalian mengamati sawah yang berada disekeliling sekolah? Bagaimana kondisi saw...