Jumat, 04 Juni 2021

Di-tampol, saat Berkunjung Ke SMAN 5 Malang! (Part 1)

Kamu masih perlu belajar lagi rupanya, kalau kamu tidak bisa menghargai dirimu sendiri.. kenapa saya harus menghargaimu?

     
Tampak depan SMAN 5 Malang (sumber: http://sekolah.data.kemdikbud.go.id/)

        Siang itu saya punya janji dengan seorang teman, ingin belajar tentang seluk-beluk vermes. Pukul 12.35 WIB, sampai di SMAN 5 Malang. Masuk melalui gerbang depan, langkah saya dihentikan oleh lambaian tangan security sekolah. Saya sampaikan kepada Beliau, bahwa saya punya janji dengan Pak W. Miora, motor mio merah kesayangan, saya parkirkan di sebelah barat pos keamanan. Tidak lama berselang, muncul sosok tambun dan berkulit gelap, sebut saja Pak W. Pak W lantas mengajak saya memasuki gedung sekolah.

Pohon Tabebuia chrysotricha yang sedang berbunga
(sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Handroanthus_chrysotrichus)

        Sedikit gambaran tentang SMAN 5 Malang yaa, sekolah ini nuansanya hijau, banyak taman dan tanaman. Bagian luar sekolah dikelilingi oleh pohon Tabebuia chrysotricha, dikenal juga sebagai pohon terompet emas. Jika tiba masa berbunga, hampir seluruh bagian pohon akan dihiasi oleh warna kuning. Bagian dalamnya, ada lapangan basket untuk menyalurkan bakat dan penat. Hahaha. Kebetulan saya tidak berkesempatan untuk tour, jadi hanya sekelumit saja bagian sekolah yang bisa saya ceritakan. Kita berdua, Pak W dan saya, kemudian duduk didepan ruang guru. Semilir angin dan suara gemericik air terjun buatan yang muasalnya dari kolam ikan, menemani obrolan kami.

        Pak W, saat itu mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Sembari duduk bersandar, kaki kanannya ditumpangkan pada kaki kiri (lungguh jegang bhs. Jawa red.) dia membenahi lekukan pada celananya, agar duduknya makin nyaman.

"Kamu mau tahu apa, Bro..?", Pak W membuka perbincangan.
"Saya ingin belajar dari njenengan, Pak. Saya udah kepo-kepo kemarin, cari tahu gambaran besarnya. Tapi, saya ingin belajar hal teknisnya dari njenengan".

        Hampir 4 tahun kita berteman, Pak W paham benar, diksi-artikulasi-intonasi yang saya sampaikan menyiratkan keseriusan. Kurang lebih 40 menit kami berbincang asyik, salah seorang rekan kerja Pak W mendekati kami. Lelaki yang berjalan ke arah kami berusia diatas 55 tahun, rambut tipis jarang ada, sorot mata masih menyala. Kumis cukup lebat, coklat-hitam-putih warnanya. Postur tubuh, gempal. Tangan seperti umbi singkong mukibat, besar dan berurat. "Sebentar.., orang ini.. iya, orang ini cukup `berbahaya`!", first-impression yang absurd. Noted. Si Bapak mengantongi kedua tangan kedalam saku celana.

"Walah... ngobrolin apa ini?, hati-hati kalau kumpul sama Pak W, bisa ketularan Pak W nanti!", Beliau sambil menudingkan jemarinya kearah Pak W. Terlihat serius memang, tapi saya tahu Beliau hanya bermaksud melontarkan candaan saja.
"Ah... saya kan rakyat biasa memang, Pak.. Beda dengan njenengan yang secara kasta berada di langit", Pak W menimpali dengan candaan pula, tapi dari gesture-nya saya tahu kalau dia sedang tak nyaman.

Merasa iba dengan Pak W, saya bermaksud ikut berempati dengan mengatakan, "Sama kok Pak W, saya juga rakyat jelata... yang nggak mampu dan ga punya apa-apa". Menariknya, ada nuansa yang berubah seketika. Mimik wajah si Bapak mendadak menjadi keras, intonasinya lebih tinggi, entah berapa oktaf.

"Wah, nggak boleh gitu, Mas! Kamu masih perlu belajar lagi rupanya, kalau kamu tidak bisa menghargai dirimu sendiri.. kenapa saya harus menghargaimu?... Padahal, satu-satunya yang diharapkan paling bisa memberikan penghargaan dan penghormatan kepada diri pribadi, ya diri sendiri".
        
        Ucapan dari Bapak itu, menancap dalam hati saya. Benar adanya, jika penghormatan terhadap diri ini rasanya jauh berkurang.. (self-respect, self-esteem, self-confidence, sejenis dan serumpun dengan istilah itu). Mungkin saja hal tersebut tercermin keluar, sehingga tampak dan bisa dilihat oleh mereka yang memang peka.... dan mau memahami.

        Ucapan dari Bapak -belakangan saya mengetahui namanya Beliau-, memang nampol banget. Pedas, panas, tapi justru itu yang membuat saya respect ke Beliau. Ucapannya disampaikan saat momennya tepat, dan apa yang Beliau sampaikan sangat terukur. Ucapan bisa jadi senjata yang mematikan, atau sebaliknya.. mantra yang membangkitkan. Sepanjang perjalanan menuju rumah menjadi momen yang pas untuk muhasabah.

Lanjutan ceritanya akan saya sampaikan pekan depan yaa..
InsyaAllah, jika Allah SWT mengizinkan, akan saya sampaikan poin yang memiliki korelasi erat dengan tuntunan yang telah Allah SWT berikan.
Malang, 2 Juni 2021
Langit saat itu kelabu, sementara rintik hujan enggan turun... terpantau masih malu-malu..

2 komentar:

  1. Terimakasih untuk penggalan kisah inspiratifnya kak bro, semoga sukses dengan kisah hidup dan kisah inspiratifnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kembali, sudah meninggalkan komentar dan jejak di postingan ini Kak Sist. :)

      Hapus

PERUBAHAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP (Bagian 1) ---MATERI KELAS X SEMESTER GENAP--- KURIKULUM MERDEKA

 ----  KEGIATAN AWAL PEMBELAJARAN  ---- 📌  Note  : Pernahkah kalian mengamati sawah yang berada disekeliling sekolah? Bagaimana kondisi saw...